Sunday 20 April 2008

ALERGI ANTIBIOTIK

ALERGI ANTIBIOTIK

Seorang wanita berumur 55 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan cellulite. Dia menceritakan pernah menderita urtikaria pada awal umur 30 tahun, yang berhubungan dengan obat penicillin untuk mengobati infeksi pada saluran pernafasan. Seharusnya cephalosporins dapat dihindari. Secara umumnya, bagaimana pasien yang menderita alergi terhadap antibiotik dapat dievaluasi dan diobati.

Permasalahan Klinis
Meskipun reaski alergi terhadap antibiotik hanya dalam jumlah yang sedikit dari yang dilaporkan, hal tersebut tetap berbuhubungan dengan kematian dan kesakitan serta meningkatnya biaya kesehatan. Perkiraan reaksi alergi terhadap antibiotik sangatlah banyak. Beberapa organ mungkin dapat terkena tapi yang paling sering adalah kulit. Dari data Boston Collaborative Drug Surveillance Program mengindikasikan 2,2 % frekuensi dari reaksi obat terhadap kulit pada pasien di rumah sakit adalah antibiotik amoxicillin, trimethoprim sulfamethoxazole dan ampicillin sebagai agent yang paling umum. Baru-baru ini, analisa propektif di Pecancis selama 6 bulan menunjukkan jumlah kasus erupsi obat terhadap kulit didapatkan 3,6 % per 1000 pasien di rumah sakit dan 55 % kasus karena antibiotik.

Patogenesis
Reaksi alergi secara definisi adalah reaksi yang diperantarai oleh respon immun. Sebuah obat dapat menyebabkan berbagai respon immun, dan sebagai faktor penentu antigen dapat berasal dari sebuah obat. Sebagai contohnya faktor penentu utama antigen dan penentu lainnya telah diidentifikasikan untuk penicillin (gambar 1). Sel T berperan utama dalam menunda reaksi hipersensitivitas, termasuk antibiotik yang menyebabkan erupsi maculopapular ( gambar 2). Sedangkan obat yang sepesifik terhadap antibodi IgE menyebakan reaksi urtikaria (gambar 3). 


Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari alergi terhadap antibiotik adalah banyaknya variasi dari masing-masing tipe dan beberapa reaksi serta pengaruh dari sistem organ (table1). Faktornya adalah obat yang digunakan, sifat alami penyakit, serta kekebalan pasien sebagai peran yang penting dalam pentunjuk klinis pada reaksi alergi ini. Reaksi yang pada umumnya terjadi karena antibiotik adalah erupsi kulit maculopapular, urtikaria, dan pruritus. Reaksi ini terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah penggunaan obat (selama terjadi sensitasi), walaupun reaksi yang kedua kali, reaksi ini terjadi lebih cepat, dalam hitungan menit sampai jam. Adakalanya sindrom hipersensitivitas berkembang yang ditandai dengan demam, eosinophilia, dan manifestasi extracutaneous yang lain.
 Beberapa antibiotik juga mempengaruhi organ selain dari kulit. Sebagai contoh, kombinasi amoxicillin dan clavulanic acid dapat menyebabkan luka cholestatic liver, sedangkan hemolisis dan cytopenias, hampir dipastikan disebabkan oleh obat yang specifik terhadap antibodi. Dilaporkan dengan penicilllin dosis tinggi dan terapi alosporin. Beberapa reaksi menyebabkan reaksi seperti anafilaksis, namun yang diperantarai oleh obat spesific terhadap IgE jarang terjadi. Meskipun anafilaksis secara teoritis terjadi dengan berbagai antibiotik, hanya frekuensi pinicillin yang menyebabkan anafilaksis diuraikan dengan baik (1 dalam 5000 sampai 10000 sepanjang terapi obat).

Kasus Spesial
Human Immunodeficiency Virus
Pasien terinfeksi HIV memiliki frekuensi reaksi alergi lebih tinggi terhadap agent antimicrobial (termasuk sulfamethoxazole, amoxicillin, clindamycin, dapsone, dan amithiozone) dari pada seseorang yang tidak terinfeksi HIV. Hipersesitivitas terhadap trimethoprim-sulfamethozaxole terjadi 20 % sampai 80 % pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 1 sampai 3 persen orang yang tidak terinveksi HIV. Rata-rata reaksi yang tinggi tidak bisa dimengerti dengan baik, tetapi mungkin mungkin bisa disebabkan oleh pengubahan metabolisme obat, pengurangan lebel glutathione, atau keduanya.

Cystic Fibrosis
Kira-kira 30 % pasien dengan csystic fibrosis, alergi berkembang tehadap satu atau lebih antibiotics. Piperacillin, ceftazidime, and ticracillin telah menjadi implikasi paling umum, dengan resiko menjadi tinggi setelah pemberian secara parenteral dibanding setelah pemberian secara oral. Penggunaan berluang antibiotik dan respon imun berlebihan di perkirakan menjadi dasar pengaruh yang tinggi dari reaksi alergi pada pasien dengan penyakit ini.

Infectious mononucleosis
Kemungkinan dari reaksi cutaneus terhadap pinicilins dan agen antimicrobial yang lain meningkat selama pasien dengan infeksi mononukleus, walaupun mekanisme dari reaksi obat tidak jelas, ifeksi viral mungkin dapat menggantikan status imun dari penderita. Dalam suatu kasus, implikasi agen dapat diatur kembali ketika infeksi viral telah teratasi.

BUKTI DAN STRATEGIS
Penilaian Klinis
Sejarah medis yang diambil adalah evaluasi alergi antibiotic secara kritis dan perbedaan reaksi alergi dari reaksi lain yang kurang baik. Informasi ini sangat penting, sejak diagnosis dari reaksi alergi mengarahkan untuk menghindari pemakaian yang tidak penting dari agen antimikrobial dan mungkin menjadi berkembangnya mikroorganisme yang resisten. Tabel 2 menyediakan pertanyaan-pertanyaan, jawabannya yang mungkin bisa membantu menentukan apakah sebuah reaksi diperantarai secara imunlogi, dan jika demikian tipe dari mekanisme imun dapat dipertanggung jawabkan. Bila memungkinkan pasien yang dievaluasi untuk kemungkinan alergi antibiotik didukung untuk menyediakan semua catatan medis yang terkait terhadap reaksi obat sebelumnya yang kurang baik. Tebel 1 meliputi reaksi yang paling umum dihubungkan dengan berbagai kelas antibiotik


Tes Diagnostik
Tes Kulit
Tes pada kulit bisa digunakan untuk mendeteksi alergen spesifik terhadap antibodi IgE. Bagaimanapun juga, dengan pengecualian pinicilin, imunogen yang relevan (yang bisa diperoleh dari metabolisme obat yang tak teridentifikasi atau produk degradasi) tidak diketahui dari kebanyakan obat. Tidak ada diagnosis in vivo atau in vitro yang valid terhadap reagen, yang tersedia untuk mengidentifikasi antibiotic spesifik terhadap antibodi IgE. Walaupun campuran antibiotik mungkin digunakan dalam tes oleh ahli alergi, respon negative pada test kulit tidak dapat diinterpretasikan bahwa antibodi IgE tidak ada. Walaupun, hasil negative mungkin hanya mengindikasikan sensitivitas yang tidak cukup dari teknik pengujian atau bisa dipastikan, obat yang immunogen tidak digunakan dalam test.
Bagaimanapun juga Test kulit menunjukkan ketepatan yang tinggi untuk identifikasi alergi penicilline. Secara klinik antigen penentu untuk pinicilline sangat karakteristik dan termasuk antigen penentu untuk pinicilline yang penting adalah penicilloyl polylysine dan berbagai antigen minor. Tes kulit dilakukan dengan penicilloyl polylysine dan salah satu penicillin G yang dilemahkan menjadi 10.000 unit per milimeter atau campuran dari antigen lain yang umumnya terdiri dari 10-2 M campuran dari benzyl penicilloate, benzyl penilloate, dan benzyl-n-propylamine. Tes kulit dengan ditusuk dengan material yang keras dilakukan terlebih dahulu, dan jika negative dalam 15 menit maka dilanjutkan dengan test intrakutan. Pertambahan diameter bintul (wheal) kurang lebih 3 mm ( dibandingkan dengan kontrol negative) dan erythema menunjukan test positif. Kurang dari 20 % pasien yang dilaporkan mempunyai alergi terhadap penicillin harus dideteksi dengan antibody IgE. Tes yang negative mengindikasikan bahwa reaksi sebelumnya tidak diperantarai oleh IgE atau antibody tidak tahan lama. Dalam kasus yang lain penicillin dapat dipakai lagi dengan resiko yang minimal pada reaksi yang segera timbul ( tidak lebih dari 4 %, sebuah kejadian sama pada pupulasi umumnya). Walaupun penicilloyl polylysine sekarang menjadi tidak tersedia secara umum karena isu yang berhubungan dengan produksi dalam jumlah yang sedikit, produksi diharapkan diperkecil di masa depan.

Tes Lain
Tes kulit tidak bisa untuk memprediksi reaksi obat yang tidak diperantarai IgE. Dalam beberapa kasus tes lain dapat berguna tetapi harus dilakukan selama atau segera setelah terjadi reaksi. Tes coomb yang positif mengindikasikan antibodi cell-bound ( contoh penicillin menyebabkan anemia hemolitik), dan tingkat komplemen yang rendah mungkin berindikasi keterlibatan komplemen ( misalnya minocycline menyebabkan serum penyakit, seperti reaksi). Level serum triptase, cel mast spesifik protease natural yang mengindikasikan aktivasi sel mast, menunjukkan peningkatan untuk beberapa jam setelah reaksi obat anafilaksis.
 Obat yang spesifik terhadap sel T, yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas mungkin bisa dideteksi dengan tes transformasi limfosit secara in vitro, yang penggunaannya sangat luas di Eropa tetapi tidak diijinkan digunakan di USA. Tes ini melibatkan campuran limfosit dari pasien dengan obat yang menimbulkan reaksi. Jika obat spesifik terhadap set T muncul, respon proliverasi bisa dihasilkan, proliferasi diukur dengan adanya thymidine tritiated dalam obat, dibandingkan dengan tidak adanya obat. Hasil test yang positive mengindikasikan bahwa pasien sensitif terhadap obat tersebut. Bagaimanapun, sinsitivitas bisa timbul bahkan tidak ditemui manifestasi klinis, dan hasil test yang positif telah didemonstrasikan pada kedua-duanya dan penundaan antibiotik mempengaruhi reaksi yang disebabkan obat β-lactam, sulfonamides, and quilones. Sampai tes ini diberlakukanlebih lanjut, bagus untuk mempertimbangkan sebuah penelitian.
Tes penunjang yang menyebabkan pemakaian kira-kira 3 sampai 6 penambahan dosis dari tiap-tiap obat sampai pada dosis pemakaian sehari-hari, mungkin dapat digunakan untuk mengkonfirmasikan obat hipersensitifitas. Bagaimanapun tes penunjang membawa reaksi yang jelas dari reaksi yang sama pada reaksi hipersensitifitas sebelumnya, walaupun reaksi subsequent yang umumnya ringan dan ringkas dari pada reaksi aslinya. Dalam sebuah study rata-rata keseluruhan dari berbagai reaksi selama tes penunjang mencapai 17, 6 %. Maka beberapa tes harus dilakukan dengan beberapa orang yang berpengalaman dalam peralatan resusistansi cardiopulmonary yang tersedia.


Pengobatan
Obat Desensitisasi
Reaksi yang diperkirakan diperantarai oleh IgE, obat desensitiasi bisa di lakukan jika agen diperlukan untuk pengobatan. Desentisasi dilakukan oleh orang yang mendapat pelatihan yang memadahi seperti orang yang di rumah sakit. Hal itu termasuk tata cara peningkatan jumlah antibiotik yang secara pelan-pelan melawati periode berjam-jam sampai dosis terapi tercapai. Dosis permulaan dalam mikrogram, dapat dilakukan melalui oral ataupun intravena, tetapi melalui oral digunakan pada reaksi yang lebih sedikit. Dosis digandakan setiap 15 to 30 minutes, tingkat terapi dapat dicapai pada kebanyakan kasus 4-5 jam. Pasien dimonitor dari dekat secara prosedur, dan antihistamin dan inhalasi β-agonists diberikan untuk reaksi urtikaria dan bronchospasm. Jika reaksi yang lambat ( contohnya rasa panas dan urtikaria) terjadi, prosedure dapat disimpulkan pada saat dosis terahir, jika reaksi terjadi (hipotensi dan brochospasm), procedure harus dihilangkan dan alternatif antibiotik harus dipilih.
Mekanisme dengan toleransi klinik yang didapat tidaklah jelas tapi ini dipikirkan untuk mencapai antigen spesifik cell mast desinsitisasi. Sejak perawatan desensitisasi memerlukan obat secara kontinyu. Desensitisisasi harus diulang jika obat dipelukan lagi.
Dari laporan retrospective baru-baru ini, desentisasi yang di perantarai IgE alergi obat berhasil pada 43 dari 57 kasus (75 %). 11 desentisisasi (19 %) menjadi rumit oleh reaksi alergi, selama prosedure ( anafilaksis) atau beberapa hari setelah penyelesaian (penyakit serum), 3 yang diakhiri untuk alasan lain dari reaksi alergi. Dalam kebanyakan kasus dari kegagalan desensitisasi, reaksi obat tidak timbul yang semata-mata diperantarai IgE. Desensitsasi timbul yang kemungkinan gagal pada pasien dengan cyctic fibrosis.
Untuk reaksi yang tidak diperantarai IgE, pengaturan bergantung pada manifestasi klinis dari reaksi sebelumnya. Untuk erupsi makupopular, seorang ahli mungkin mempertimbangkan sebuah pemaparan obat yang bertahap, yang setara untuk test provokasi. Pemberian tanda pada dosis awal pada umumnya meningkat. Inisialisasi dosis awal pada umumnya meningkat dari pada beberapa pengunaan untuk desensitisasi ( miligram atau mikrogram), dan jarak antara dosis bervariasi, bekisar dari beberapa jam sampai beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu. Pasien dimonitor untuk reaksi yang kurang baik yang kebanyakan pada daerah kulit. Apakah keputusan untuk tidak melanjutkan antibiotik jika terjadi sebuah reaksi tergantung pada reaksi yang alami, lesi bullous atau penarikan membran mukus karena obat, sedangkan hal itu beralasan untuk menjaga reaksi yang halus, seperti erupsi maculopapular, dengan penggunaan antihistamin, corticosteroid, atau kedua-duanya jika diperlukan.
Selama obat digunakan kembali, reaksi hipersensitivitas yang berulang (erupsi morbiliform, demam atau dua-duanya) telah dicatat sebanyak 58 % dari pasien dengan sindrom immunodefisiensi yang didapat yang mempunyai reaksi sebelumnya terhadap sulfamethoxazole. Beberapa prosedur pemaparan obat harus berhasil digunakan pada beberapa pasien. Analisa dari beberapa pembelajaran menunjukkan bahwa penggunaan kembali sulfamehoxazole dengan penambahan dosis yang diijinkan penggunaan obat kurang lebih 75 % pada pasien yang dirawat. Pengguaan obat yang diulang bersifat kontradiksi, bagaimanapun juga setelah ancaman kehidupan dari reaki obat tidak diperantarai oleh IgE ( contohnya obat yang mempengaruhi anemia hemolitik, reaksi immun komplek, sindrom steven johnson, dan toxic epidermal necrolysis).

Pemakaian Cephalosporin pada Pasien Alergi Penicilline
Penicillin dan cepalosporin mempunyai struktur cincin β-laktam yang membuat reaksi silang. Walaupun rata-rata reaksi silang kurang lebih 10 % telah dilaporkan, hasil ini harus diinterpretasikan dengan penyebab sejak didasarkan pada pembelajaran retropektif pada alergi penicillin yang tidak dilakukan secara rutin dengan tes kulit, dan beberapa reaksi tidak diperantarai oleh immun. Data yang tersedia, walaupun didasarkan pada jumlah yang kecil, diperkirakan bertambahnya resiko pada reaksi cephalosporin diantara pasien dengan tes kulit penicillin yang positif. Tinjauan data dari 11 pembelajaran dari penggunaan cephalosporin pada pasien dengan sejarah alergi penicillin, reaksi cephalosporin ditemukan terjadi pada 6 pasien dari 135 pasien dengan hasil tes kulit alergi penicillin yang positif ( 4,4 %) dibandingkan dengan pasien dengan tes kulit negatif ditemukan 2 dari 351 pasien (0,6%).
Sedangkan kebanyakan pasien dengan sejarah alergi terhadap penicillin akan bisa menerima cephalosporin, kecuali pasein yang mempunyai ancaman untuk penggunaan obat ini. Di United Kindom dari tahun 1992 sampai 1997 diantara 12 kasus anafilaksis yang fatal disebabkan oleh antibiotik, 6 kasus terjadi setelah dosis pertama cephalosporin, dan 3 dari 6 pasien diketahui mempunyai alergi penicillin.
Pasien dengan sejarah alergi penicillin yang memerlukan cephalosporin, perawatan tergantung pada reaksi pertama yang diperantarai IgE. Tes kulit bisa dijamin apabila reaksi dikuatkan dengan mekanisme yang diperantarai IgE atau jika tidak memeliki sejarah alergi yang jelas. Dalam suatu pembelajaran 31 pasien dengan hasil positif pada tes kulit mempunyai sejarah yang tidak jelas atau samar terhadap alergi penicillin. Jika tesnya positif dan cephalosporin tetap diperlukan, kemudian desensitisasi harus dilakukan dengan menggunakan partikular cephalosporin dipilih untuk pengobatan. Kemungkinan alternatif untuk melakukan penilaian terhadap cephalosporin tetapi resiko anafilaksis harus dikenali. Jika sejarah bertentangan dengan mekanisme IgE, hal ini aman untuk pemaparan bertahap tanpa tes kulit sebelumnya.

Alergi Sulfonamide
 Pasien yang alergi terhadap antibiotik sulfonamide, mendapat perhatian apabila menggunakan obat lain yang mengandung sufonamide (diuretics, sulfonyureas, dan celecoxib). Bagaimanapun agen antimikrobial (sulfamethoxazole, sulfadiazine, sulfisoxazole, dan sulfacetamide) berbeda dengan pengobatan lain yang mengandung sulfonamide yang mempunyai grup aromatic amin pada posisi N4 dan cincin pengganti pada posisi N1, kelompok ini tidak ditemukan dalam obat yang tidak mengandung antibiotik sulfonamide.
 Dalam pembelajaran yang lebih luas, pasien dengan sejarah antibiotik sulfonamid akan mengalami peningkatan resiko alergi menjadi golongan bukan antibiotik sulfonamide, yang dibandingkan dengan pasein tanpa alergi ( mengatur perbedaan ratio, 2.8;95 % interval yang jelas, 2.1 sampai 3.7) dan bahkan kemungkinan adanya reaksi pada penicillin (mengatur perbedaan rasio, 3.9;95% interval yang jelas, 3.5 sampai 4.3). Hasil ini menunjukkan kesatuan antara alergi antibiotik sulfonamide dan reaksi subsequen pada bukan antibiotik sulfonamide dimungkinkan disebabkan oleh kecenderungan reaksi alergi pada umumnya, sebagai lawan reasksi silang antara sulfonamide yang mengandung antibiotik dan obat bukan antibiotik.

Daerah Yang Tidak Pasti
 Mekanisme yang menyebabkan alergi antibiotik tidak diterangkan dengan jelas. Pemahaman ini diperlukan untuk mefasilitasi perkembangan peralatan diagnosa yang lebih baik dan juga obat yang immunoginic rendah. Pemahaman yang baik diperlukan pada faktor mediasi individu yang mudah dipengaruhi reaksi alergi antibiotik. Sedikit pembelajaran yang telah dievaluasi dari peran MHC dalam kecenderungan pasien terhadap reaksi obat. Tetapi penemuan itu harus dikonfirmasi dan diperluas.
 Beberapa pasien dilaporkan mempunyai reaksi yang kurang baik terhadap antibiotik yang tidak berhubungan secara kimiawi. Munculnya sindrom alergi terhadap berbagai obat masih kontroversial, dan tes diagnosa yang disetujui diperlukan untuk mendokumentasikan alergi obat pada pasien ini.

Kesimpulan dan Rekomendasi
 Pasien yang dilaporkan dengan sejarah alergi antibiotik membutuhkan penilaian hati-hati dari reaksi untuk menentukan kemungkinan bahwa hal tersebut diperantarai secara immunologi. Pada pasien dengan sejarah reaksi diperantarai IgE pada pinicillin hendaknya kasus ini digambarkan dalam sketsa, disarankan untuk tes kulit jika tersedia, sebelum mereka menerima antibiotik β-lactam. Jika tes negatif angent β-lactam mungkin bisa digunakan. Jika tes positif atau tes tidak dapat dilakukan, obat harus dihindari atau prosedur desensitisasi harus dilakukan.